Tereduksinya Definisi Cinta Al-Quran

Kesempatan bertemu dengan Gus Baha di kediamannya di Narukan, tiba-tiba menjadi sebuah dilema. Antara waspada wabah, atau sayang ilmu sekaligus kesempatan bertemu dengan ahlinya. Beliau telah mempersilakan sowan, namun kami dari Bayt Al-Quran-PSQ masih bimbang. Tidak satu pun di antara kami yang bisa menebak apa efek dari perjalanan jauh Jakarta-Rembang. Namun, mengabaikan kesempatan emas bertemu dengan ulama, kita juga tidak tahu kerugian apa yang akan menimpa.

Berbekal prinsip “Waspada harus, namun jangan takut,” kami berangkat. Kami sadar, ilmu harus diperjuangkan. Bahwa ada resiko, ya, pilihan apapun pasti beresiko. Maka, segala kekhawatiran kami lawan. Kewaspadaan ditingkatkan. Pengamanan dengan protokol kesehatan pun kami perketat. Bagaimana pun, perjalanan jauh pasti melelahkan dan mengkhawatirkan, terlebih dalam keadaan pandemi.

Rasa lelah kami terbayar tuntas begitu bertemu dengan Gus Baha. Sekitar pukul 07.30 WIB, seusai kami berbesih diri, kami sowan ke ndalem. Saat menerima kami, beliau tengah muthala’ah (membaca) kitab Mufradat Gharib Al-Qur`an karya Al-Raghib Al-Asfahani, sebuah kitab induk mengenai makna kosakata Al-Quran. Beliau memang pecinta ilmu, dengan makna yang sebenarnya. Terlalu sering kita mendengar hal itu. Semua lakunya memang betul berdasarkan ilmu. Ketika bicara pasti soal ilmu. Kesibukannya juga terkait ilmu. Penilaian apapun akan beliau takar dengan pendapat ahli ilmu. Hingga style bajunya pun ada ilmunya. Dengan kapasitasnya saat ini – yang sering terlibat diskusi dengan para ahli – pun kebiasaan muthala’ah beliau tetap tidak terputus. Sebuah konsistensi yang tidak mudah.

Saya jadi teringat pesan beliau pada sebuah kesempatan, “Saya mohon, siapapun yang mencintai agama ini harus banyak membaca. Jangan menuruti emosi yang kemudian emosi itu diatasnamakan agama.” Dalam kesempatan yang lain, “Semuanya itu harus atas nama ilmu. Ibadah itu nomor dua. Akhlak nomor dua. Semuanya, yang nomor satu itu ilmu. Sekali ilmu ini hilang, maka semuanya hilang,” pesan beliau.

Gus Baha juga menyampaikan bahwa banyak membaca itu bukan untuk gaya-gayaan atau gengsi, tapi mencarikan solusi permasalahan umat. Beliau sendiri yang memberi teladan atas pernyataannya itu. Pertanyaan yang diajukan, atau sebuah permasalahan yang nyata dalam masyarakat, beliau selalu memberikan jawaban dengan menukil pandapat para ulama yang tertuang dalam karya mereka. Dan hebatnya, jawabannya selalu mengarah dan akurat. Artinya, beliau sangat paham permasalahan itu, dan tahu di mana jawabannya. Gus Baha ibarat fikih yang berjalan.

Saya menduga, kemampuan itu terbentuk melalui forum diskusi pesantren yang dikenal dengan Bahtsul Masail (Meneliti permasalahan). Menurut salah satu sumber, beliau dulunya adalah “pemain andalan” Pesantren Sarang dalam kegiatan Bahtsul Masail, sementara andalan Pesantren Lirboyo adalah Alm. Gus Ishomudin Hadziq, cucu KH. Hasyim Asy’ari, yang terkenal kealimannya.

Dengan berbekal dasar keilmuan yang kuat, sikap yang hangat, terbuka, dan terutama keikhlasan dalam menunaikan kewajiban menyampaikan ilmu, Gus Baha ketika melayangkan kritik tidak membuat lawan bicara tersinggung. Bahkan mereka cenderung patuh. Padahal cukup sering beliau mengkritik pendapat atau perilaku yang melenceng dari garis ilmu, dan cukup banyak yang beliau ceritakan tentang insyafnya mereka.

Salah satu yang sangat beliau sorot dan kritik cukup keras adalah tren menghafal Al-Quran tanpa didahului penguasaan keilmuan dasar yang menjadi kebutuhan setiap muslim, apalagi seorang penghafal. Keilmuan dasar yang dimaksud adalah akidah dan fikih. Istilah ulama, keduanya adalah fardhu ‘ain, kewajiban personal. Sementara menghafal Al-Quran secara utuh 30 juz adalah fardhu kifayah, kewajiban kolektif. Dan saat ini, jumlah penghafal Al-Quran sudah sangat banyak, lebih dari cukup untuk mewakili kewajiban umat Islam menjaga Al-Quran.

Masalahnya ada pada pemahaman sebagian masyarakat yang kurang tepat, terlanjur memandang bahwa orang yang hafal Al-Quran adalah sebagai ahli agama, sehingga menjadi rujukan bertanya masalah agama. Padahal faktanya tidaklah selalu demikian. Betapa banyak hafidz yang menjadi imam tetap masjid, baru menguasai ilmu tajwid dan bisa tilawah. Tapi ada yang belum mengerti soal fikih salat, sehingga rawan terjadi kesalahan yang bisa membatalkan salat. Padahal mereka menjadi imam.

Itu baru soal salat. Masalah agama yang menjadi pertanyaan masyarakat sangatlah banyak dan kompleks. Jika para huffazh nihil dari pengetahuan fikih, dengan apa mereka akan menjawab? Kampanye mengerahkan dan mengarahkan anak-anak kita untuk menghafal Al-Quran, sambil mengabaikan kebutuhan ilmu dasar mereka, adalah kesalahan prioritas yang cukup fatal.

Dengan semua kritikannya itu, bukan berarti Gus Baha memandang bahwa menghafal Al-Quran sebagai hal yang buruk. Bukan. Menghafal Al-Quran tetaplah baik. Sangat baik bahkan. Karena itu ekspresi cinta kita kepada Al-Quran. Bagaimana bisa kita mempermasalahkan kecintaan umat Islam terhadap kitab sucinya? Namun, eskpresi ada aturannya. Jika hanya menghafalnya, membacanya dengan tajwid yang benar, kita baru memenuhi haq al-tilawah, hak dilantunkannya Al-Quran. Sementara Al-Quran juga punya hak untuk dipahami dan diamalkan, yang berarti keduanya adalah kewajiban kita umat Islam.

Beliau sampai perlu membuka kitab Ihya` Ulumidin, “Pegangan saya, ya ini. Pegangan Mbah Moen dan guru-guru kita juga,” ujar beliau, lalu membacakannya untuk kami, bahwa menghafal Al-Quran tidak hanya berkaitan dengan keutamaannya, namun juga ada ancamannya. Dan jauh-jauh hari Rasulullah Saw. sudah memperingatkan akan kemunculan orang-orang yang berlomba-lomba membaca AlQuran, namun hanya sebatas menyuarakannya, tidak bisa menjiwainya.

Beliau menyitir pernyataan sahabat Abdullah Bin Umar ketika mengomentari jumlah para hafizh Al-Quran dari kalangan tabi’in yang jauh melampaui jumlah huffazh sahabat, “Kita (para sahabat) dulu dianugerahi iman terlebih dahulu sebelum Al-Quran. Sementara kalian (para tabi’in) mendapatkan Al-Quran terlebih dahulu, kemudian iman.” Zaman Nabi Saw. masih hidup, belum dikenal istilah iman yang ada dalam definisi ulama tauhid, yang mencakup hanya keyakinan. Iman juga berarti berarti pendidikan, keyakinan, atau perilaku yang baik. Dan perilaku yang baik itu bisa dipelajari lewat fikih.

Bagi Gus Baha, memahami akidah dan fikih dengan baik adalah kunci penting memahami Al-Quran. “Fikih adalah asbabun nuzul yang sebenarnya. Karena saat Al-Quran turun, itu sudah ada praktek dari Rasulullah saw. Jika tidak, lalu bagaimana para sahabat bisa memahami perintah itu?” Tutur beliau. Makanya, beliau menyarankan agar sebelum menghafal Al-Quran, para santri dibekali ilmu tauhid dan fikih terlebih dahulu. Tidak harus mengakses lewat kitab berbahasa arab. Saat ini, buku terjemahan sudah cukup banyak dan mudah didapat.

Meski berpandangan demikian, Gus Baha adalah penghafal Al-Quran yang baik. Beliau bisa dengan mudah mengutip ayat di tengah-tengah penyampaian materi dan membacakannya dengan lancar. Bukan hanya Al-Quran, namun juga hadis, hingga redaksi ulama pun beliau kutip dengan fasih, bahkan jika redaksi itu cukup panjang.

Walaupun yang kita tahu beliau sangat humoris dengan joke-joke ala pesantren dan keagamaan ketika bicara dalam sebuah forum atau ketika mengajar, dalam diamnya, Gus Baha adalah sosok yang sangat berwibawa. Bahkan saudaranya sendiri pun tampak segan dengan beliau. Mungkin ini yang disebut wibawa ilmu. Namun, meski dengan kewibawaannya itu, beliau selalu menghargai dan menghormati siapapun yang datang kepada beliau. Dari pejabat, ulama, santri, hingga masyarakat umum. Saya kira, siapapun akan merasakan hal yang sama ketika berinteraksi dengan beliau. Dan yang juga istimewa dari Gus Baha adalah selalu bisa menakar porsi pembicaraan dengan kondisi audien, sehingga mereka merasa nyaman. Kami sendiri diterima dengan sangat hangat layaknya keluarga yang lama tidak bertemu.

Ketika mengisi pengajian di depan para santri selepas salat Isya, kami diikutsertakan. “Ayo, Kang, kita ngaji dengan Kang-Kang.” Maksudnya adalah pengajian ini dikhususkan untuk santri senior, yang konon banyak di antaranya adalah alumni dari berbagai pondok pesantren besar dan tua di pulau jawa yang kini mondok di LP3IA dalam rangka meraup berkah. “Nanti duduk di belakang saya, ya.”, tutur beliau kepada kami.

Saya perhatikan dari awal hingga akhir pengajian, pandangan beliau selalu terpaku pada kitab, meski tengah menyampaikan humor khas sarat ilmu, yang sanggup mengundang gelak tawa dan mengguncang teras ndalem. Hanya sesekali beliau menatap para santri. Dan pada momen malam itu pula, kami menyaksikan kepiawaian beliau dalam membedah ilmu bahasa Arab. Sebuah ‘pertunjukan’ yang tak bisa ditemui di sembarang tempat. Masih terngiang pernyataan beliau, “Balaghah itu soal rasa. Dan soal rasa, semua bahasa punya selera yang sama.”

Usai pengajian, sekali lagi kami dipersilakan masuk ndalem dan diajak masuk ke perpustakaan pribadi beliau. Ditunjukkan kepada kami koleksi kitab-kitab beliau, mulai dari klasik hingga modern. Mulai dari tafsir, hadis, fikih, hingga usul fikih. Semuanya berjilid-jilid. Beberapa tertera nama putra putri beliau di sisi sampul: Hasan Tasbiha. “Ini koleksi saya,” kata beliau sambil menunjukkan satu persatu judul kitab yang berderet itu. “Ada Tafsir Thabari, Al-Qurtubi, Hasyiyah Al-Jamal. Yang ini fikih dan usul fikih. Termasuk lengkap lah.” Dan ini yang perlu digarisbawahi, “Sudah saya baca semua.” Dada saya terasa perih mendengarnya, betapa tanggung jawab memiliki kitab adalah dengan membacanya.

Sebelum kami pamit pulang, beliau telah menyiapkan sejumlah sarung dan satu kardus kitab yang berkaitan dengan tema-tema yang kita bicarakan sejak pagi harinya, sebagai oleh-oleh untuk Bayt Al-Quran. Beliau terkenal dermawan. Apalagi soal ilmu. Sekali lagi, beliau ingin ilmu ini bisa diakses orang sebanyak mungkin. Dalam banyak kesempatan ketika diundang ataupun saat kita sowan ke ndalem, beliau selalu memberikan sejumlah kitab sebagai hadiah. “Ini jariyah saya dan keluarga saya,” ujar beliau suatu kali. Sebuah karakter yang kemudian beliau tanamkan kepada putra putrinya, “Mereka saya biasakan untuk dermawan, terutama kepada anak yatim. Awalnya pakai uang saya. Tapi lama-lama, seiring bertambahnya kesadaran, mereka pakai uang jajannya sendiri.”

Mungkin sikap (ahwal) dermawan dan menyayangi umat itu juga yang beliau warisi dari dua guru tercintanya: KH. Nur Salim (sang ayah), dan KH. Maimoen Zubair, di samping warisan berupa ilmu. Kecintaan beliau kepada kedua gurunya itu tampak sekali dari seringnya beliau menyebut nama keduanya di banyak forum. Bukan hanya beliau berdua, tapi teramat sering beliau menyebut, “Para Kiai kita begini, guru-guru kita begitu.” Sambil menyebutkan teladan mereka. Menunjukkan betapa beliau sangat menghargai jasa dan peranan guru-guru kita yang tak tergantikan, di tengah capaian keilmuan beliau saat ini.

Meski tak pernah belajar ke luar negeri, namun berguru dalam rentang waktu cukup lama kepada Mbah Moen yang telah mereguk ilmu dari banyak samudera, merupakan keistimewaan tersendiri. Saya jadi teringat pesan beliau yang disampaikan oleh salah satu muridnya yang saat ini tengah belajar di Mesir, “Mad, kalau kamu pikir untuk menjadi alim harus belajar ke timur tengah, kamu bisa kafir. Karena membatasi Maha Kuasanya Allah Swt.”

Di balik pembawaannya yang luwes dan suka bercanda saat berinteraksi dengan siapapun, Gus Baha sebenarnya adalah sosok yang religius. Di antaranya tampak saat berangkat salat berjamaah dengan bergegas. “Saya selalu bergegas saat berangkat salat. Ya pasti ada bedanya, lah. Bayangkan kamu dipanggil Kiai atau guru, misalnya Habib Quraish atau Habib Ali, ndak mungkin kamu datang dengan santai. Ini masa dipanggil Allah santai saja. Nanti Allah tersinggung. Dalam perintah kebaikan, redaksi yang digunakan Al-Quran itu ‘Firru’ (berlarilah!), ‘sari’u’ (bersegeralah!), dan ‘sabiqu’ (berlomba-lombalah). Terus, kita mau santai-santai saja?!”

Gus Baha juga sosok yang sangat mensyukuri anugerah pemberian Allah Swt. Sehingga pujian atau cacian (jika ada), tak menimbulkan reaksi apapun dari beliau. Datar saja. “Kalau ada yang membicarakan saya, saya maafkan. Sudah lah itu, saya ikhlaskan.” Tutur beliau di tengah pengajian.

Dengan kapasitasnya yang demikian, tidak heran beliau diangkat oleh Allah Swt. ke ranah publik. Bentuk dari kasih sayang-Nya kepada umat ini. Hangat diperbincangkan oleh banyak kalangan dan mengisi berbagai forum. Wajah dan senyum khasnya kerap kali menghiasi beranda pada platform Instagram dan Youtube – terutama – kalangan santri. Fatwa dan petuahnya banyak memperbaiki pandangan hidup muhibbin (fans) nya. Meskipun beliau sendiri tak pernah berharap terkenal. Hanya berharap agar hukum dan syariat Allah dikenal. Sebagaimana pernah beliau tegaskan.

Kami berpamitan pukul 21.30. Empat belas jam sejak pagi tadi Narukan menimbulkan kesan yang tak biasa. Tiga hari berlalu dan beliau selalu hadir dalam mimpi-mimpi saya. Gus, kami akan kembali!

Bayt Al-Quran
Pondok Cabe, 10 Oktober 2020

Mentor di Bayt Al-Quran | + posts

Alumnus Pascatahfidz Bayt Al-Quran angkatan I dan Universitas Al-Azhar, Cairo Mesir.

Muhammad Nasrullah

Alumnus Pascatahfidz Bayt Al-Quran angkatan I dan Universitas Al-Azhar, Cairo Mesir.