Pandangan Islam tentang Berhutang

Hadirin jamaah salat jumat yang dirahmati Allah Swt!

Kita, sesama manusia atau sesama muslim, diperintahkan untuk saling tolong menolong. Baik dalam bentuk materi, pikiran, tenaga atau doa. Karena masing-masing kita diciptakan mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kelebihan bagi satu orang bisa jadi adalah kelemahan bagi yang lainnya. Karena itu tolong menolong adalah sebuah konsekuensi logis. Allah berfirman,

وتعاونوا على البر والتقوى

Saling tolong-menolonglah kalian dalam kebaikan dan takwa

Balasan kebaikan bagi orang yang mau menolong saudaranya, tidak terbatas di kehidupan duniawi ini, tapi melampaui sampai akhirat kelak. Diriwayatkan oleh Abu Hurairah Ra. bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنيَا نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ اْلقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِيْ الدُّنْيَا وَالآَخِرَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمَاً سَتَرَهُ اللهُ فِيْ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ، وَاللهُ فِيْ عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيْه

“Siapa yang menghilangkan satu kesulitan seorang mukmin di dunia, Allah akan menghilangkan darinya satu kesulitan pada hari kiamat. Siapa yang meringankan orang yang kesusahan (dalam hutangnya), niscaya Allah akan meringankan urusannya di dunia dan akhirat. Siapa yang menutupi aib seorang muslim, niscaya Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat. Dan Allah senantiasa menolong hamba-Nya, selama hamba tersebut mau menolong saudaranya.” (HR. Muslim)

Salah satu bentuk tolong menolong adalah hutang. Hutang adalah pinjaman yang harus dikembalikan. Kata “harus” itu berlaku bagi yang berhutang. Sementara bagi yang dihutangi, dia punya hak untuk menagihnya, menangguhkan, atau membebaskannya.

Ada sekian keutamaan bagi orang yang bersikap lunak terhadap orang punya hutang. Nabi SAW berdoa, “Semoga Allah merahmati orang yang bersikap lunak ketika menjual, ketika membeli atau ketika menagih haknya (piutangnya).” (HR. Bukhari)

Orang yang memberi pinjaman dianjurkan memberi tangguh kepada orang yang berutang. Allah SWT berfirman,

فإن كان ذو عسرة فنظرة إلى ميسرة، وأن تصدّقوا خير لكم إن كنتم تعلمون

“Dan jika (orang yang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. al-Baqarah/2: 280). 

Apabila orang yang memberi pinjaman memberi tempo waktu pembayaran, maka ia akan mendapat pahala. Nabi SAW memberi kabar gembira, “Barangsiapa memberi tenggang waktu bagi orang yang berada dalam kesulitan untuk melunasi utang atau bahkan membebaskan utangnya, maka dia akan mendapat naungan Allah.” (HR. Muslim). 

Beliau juga bersabda, “Ada seseorang didatangkan pada hari kiamat. Allah beri perintah, “Lihatlah amalannya.” Kemudian orang tersebut berkata, “Wahai Tuhanku. Aku tidak memiliki amalan kebaikan selain satu amalan. (Yakni), dulu aku memiliki harta, lalu aku sering meminjamkannya pada orang-orang (yang membutuhkan). Setiap orang yang sebenarnya mampu untuk melunasinya, aku beri kemudahan. Dan setiap orang yang berada dalam kesulitan, aku selalu memberinya tempo sampai dia mampu melunasinya.”  Lantas Allah menjawab, “Aku lebih berhak memberi kemudahan.”  Orang itu pun akhirnya diampuni.” (HR. Ahmad).

Hadirin jamaah salat jumat yang dirahmati Allah Swt!

Itu adalah keutamaan bagi orang yang memberikan hutang. Lalu bagaimana dengan yang berhutang? Dulu, memiliki hutang adalah sebuah kehinaan. Karena tidaklah seseorang itu sampai menempuh jalan hutang kecuali dia sedang yang terhimpit kebutuhan. Hingga diriwayatkan ada seorang ulama yang tidak berani menyelonjorkan kakinya ke arah rumah orang yang punya piutang terhadap dirinya. Dalam sebuah kejadian ada seorang Arab badui yang menagih hutang kepada Rasulullah dengan cara yang kasar. Para sahabat lalu menghalaunya karena dianggap tidak sopan. Tapi dicegah oleh Rasulullah, sambil bersabda, “Biarkan dia! Karena orang yang punya piutang punya hak untuk bicara.”

Hadirin jamaah salat jumat yang dirahmati Allah Swt!

Sekarang, kita lihat bagaimana Rasulullah menyikapi hutang. Ada sekian riwayat yang menunjukkan bahwa Rasulullah Saw sering sekali meminta perlindungan Allah dari hutang. Setiap selesai salat, setiap menjelang tidur, ketika hendak berkendara keluar rumah. Sampai ada sahabat yang heran, “Betapa seringnya engkau meminta perlindungan dari hutang, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Jika seseorang terhimpit hutang, itu bisa membuatnya berbohong saat berbicara, dan mengingkari saat berjanji.”

Masalah hutang Ini adalah hak adami, yang jika belum tuntas diurus di dunia maka urusannya dilanjutkan di akhirat. Oleh karena itu, jika ada orang tua kita yang sudah meninggal dan punya hutang, salah satu sarana bakti kita sebagai anak, adalah membayarnya, karena urusan di alam kubur belum akan tuntas sebelum hutang lunas.

Rasulullah Saw. bersabda,

نفس المؤمن معلّقة بدينه حتى يقضى عنه

“Jiwa seorang mukmin itu digantung oleh hutangnya, sampai ia dilunasi.” (HR. At-Tirmizi)

Cerita yang cukup masyhur, bahwa beliau ketika hendak menyalati jenazah, maka beliau memastikan dulu apakah almarhum ini punya hutang? Jika tidak, beliau akan menyalatinya. Tapi jika punya, beliau akan beranjak pergi dan mengatakan, “Salatilah saudara kalian.”

Kita melihat, seakan-akan Rasulullah demikian tega dengan mayit karena tidak mau menyalatinya. Sebenarnya tidak! Justru itu bentuk kepedulian beliau agar mayit tidak terbelenggu kelak di alam kubur.

Bahkan, besarnya pahala mati syahid, orang yang mati dalam jihad, salah satu amal yang paling tinggi nilainya dalam Islam karena sudah berani mengorbankan nyawanya demi agama, besarnya pahala itu tidak bisa menebus tanggungan hutang.

Karena itu, hendaknya hutang ini tidak dianggap sebagai perkara yang sepele. Hutang adalah sebuah jalan yang kita tempuh dalam kondisi terhimpit darurat. Bukan hobi, sehingga merasa hampa jika hidup tanpa hutang.

Hadirin jamaah salat jumat yang dirahmati Allah Swt!

Itulah sikap Rasulullah Saw. mengenai hutang. Bagaimana kita, umatnya? Sayangnya, umumnya kita hari ini mengganggap hutang sebagai hal yang begitu enteng. Sudah membudaya. Bahkan ada orang yang dalam transaksi apapun, butuh atau tidak, menggunakan hutang. Membeli rumah, mengisi rumah, membeli mobil, hape, bahkan mengisi liburan pun menggunakan hutang. Sampai-sampai ada seseorang yang punya harta untuk membeli sesuatu, tapi justru menempuh cara hutang untuk mendapatkan apa yang dia inginkan.

Apa bentuk hutang yang kita bicarakan? Iya, kredit! Memang, kredit ini memudahkan orang-orang yang punya kebutuhan tapi tidak bisa memenuhinya secara kontan. Tapi di sisi lain, ternyata efek sampingnya sangat besar, hingga kita sangat dimanjakan dengan kredit. Bahkan dalam aplikasi-aplikasi belanja online, bermunculan tawaran hutang, dengan mekanisme belanja dulu dan bayarnya bisa bulan depan, misalnya.

Memang, budaya konsumtif terus dipupuk dan dilestarikan bersama oleh produsen maupun konsumen. Sampai pada batas, kita kesulitan membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Keinginan terasa kebutuhan. Apa itu butuh? Butuh adalah sebuah kondisi, di mana jika tidak dipenuhi, akan mengantarkan pada kondisi sulit.

Silakan periksa kembali daftar cicilan kita, apakah didominasi oleh kebutuhan atau kemewahan? Tidak sadarkah kita, bahwa sejatinya kepemilikan itu pertanggungjawaban, bukan kebanggaan. Semakin banyak yang kita miliki, semakin lama perhitungannya kelak di akhirat.

Maka disini perlu kita bangkitkan sikap qana’ah, yaitu menerima dengan lapang dada apa yang telah Allah berikan kepada kita. Sikap qana’ah ini akan menolong kita dari menuruti keinginan yang tiada berujung. Dengan sikap qana’ah ini, kita bisa melakukan banyak sekali amal kebaikan. Bersedekah, wakaf, infak, dll. Karena di sana, tanpa kita sadari, banyak sekali orang-orang yang membutuhkan kelebihan harta kita, dan bisa jadi, kelebihan harta itu adalah hak mereka yang tak tertulis.

بارك الله لي ولكم في القرآن العظيم ونفعني وإياكم بما فيه من الآيات والذكر الحكيم وتقبل مني ومنكم تلاوته إنه هو الغفور الرحيم..

Mentor di Bayt Al-Quran |  + posts

Alumnus Pascatahfidz Bayt Al-Quran angkatan I dan Universitas Al-Azhar, Cairo Mesir.

Muhammad Nasrullah

Alumnus Pascatahfidz Bayt Al-Quran angkatan I dan Universitas Al-Azhar, Cairo Mesir.