Meneladani Puasa Para Salafusshalih
Setiap orang pasti akan mengistimewakan apa yang menjadi kecintaannya, rasanya pasti tidak ingin terlewatkan untuk menyambut kedatangannya. Demikian pula dengan Ramadan dan segala keistimewaannya dan para pecintanya. Para ulama memberi banyak contoh tentang cara memperlakukan, menyambut Ramadan dengan cukup istimewa. Sudah sepatutnya, barangsiapa yang ingin menyambut sesuatu yang istimewa harus punya bekal yang luar biasa. Allah ta’ala berfirman dalam Q.S. at-Taubah (9): 46
وَلَوْ أَرَادُوا الْخُرُوجَ لَأَعَدُّوا لَهُ عُدَّةً
“Dan jika mereka mau berangkat, tentulah mereka menyiapkan persiapan untuk keberangkatan itu…”.
Bekal yang perlu dipersiapkan dalam menyambut Ramadan antara lain adalah memperbanyak doa, amal saleh, serta memberbaharui taubat sebagaimana para salaf. Keadaan salaf di bulan Ramadhan, sebagaimana hal itu telah tercatat dalam kitab-kitab yang diriwayatkan dengan sanad yang terpercaya. Bahkan para salaf senantiasa memohon kepada Allah ‘azza wajalla agar menyampaikan/mengantarkan mereka sehingga bisa menjumpai Ramadhan, yaitu sebelum masuknya bulan itu. Mereka meminta kepada Allah supaya mempertemukan mereka dengan bulan Ramadhan. Mereka mengetahui bahwa di bulan itu terdapat kebaikan yang sangat besar dan kemanfaatan yang begitu luas. Sebagian ulama salaf mengatakan, yang dimuat dalam Kitab Lathaaiful Ma’arif:
كَنُوْا يَدْعُوْنَ الله سِتَّتَ اَشْهُرٍ اَنْ يُبَلِّغَهُمْ شَهْرَ رَمَضَانَ يَدعُوْنَ الله سِتَّتَ اَشْهُرٍ اَنْ يَتَقَبَّلَهُ مِنْهُم
”Mereka (para sahabat) berdo’a kepada Allah selama 6 bulan agar mereka dapat menjumpai bulan Ramadlan.” (dalam Lathaaiful Ma’arif hal. 232).
Mayoritas ahli fikih memandang bahwa laparnya orang yang berpuasa mampu menundukkan tabiat manusia (qahru attabi’) dan dapat menahan keinginan mereka (kasru as-syahwat). Apabila manusia kenyang, keinginan mereka cenderung lebih tidak terkendali dan tidak bisa dikontrol. Sebaliknya, ketika lapar manusia lebih dapat mengendalikan hawa nafsunya. Pendapat yang serupa juga dikemukakan oleh Muhammad Ali as-Sabuni, seorang ahli tafsir dan juga fikih, bahwa ibadah puasa mampu membelenggu keinginan, baik keinginan yang berasal dari perut maupun kemaluan. Ahli tasawuf memiliki pandangan yang berbeda mengenai puasa ini. Ada satu titik temu mengenai ibadah puasa dalam pandangan ahli fikih dan pandangan ahli tasawuf. Yaitu tentang laparnya seseorang yang berpuasa. Jika para ahli fikih menjadikan lapar sebagai hikmah diwajibkannya berpuasa (Ḥikmah as-Ṣaum), maka para ahli tasawuf menjadikan lapar sebagai inti berpuasa (miḥwār ar-riyāḍah)1.
Oleh sebab itu, kaum sufi lebih mementingkan lapar meskipun mengakibatkan badan lemas daripada kenyang yang mengakibatkan badan kuat. Sebab, bagi mereka kuat bukanlah tujuan hidup, sedangkan lapar merupakan jalan menuju derajat tertinggi yang biasa ditempuh oleh orang-orang shaleh, dalam dunia tasawuf kita kenal dengan istilah riyāḍah. Begitu pula orang yang berpuasa tidak makan dan minum. Manusia yang tengah menjalankan puasa harus menahan dan mengendalikan diri dari keperluan pokok yang biasa dilakukannya, seperti makan dan minum. Di sisi lain, orang yang menjalankan puasa sedang mengembangkan potensi lain yang sejalan dengan perintah Tuhan, yaitu potensi beragama.
Seorang muslim yang sedang menjalankan puasa berarti ia sedang berusaha untuk meneladani sifat-sifat ilahiyah sesuai dengan kemampuan masing-masing. Ketika Imam Ghazali menjelaskan mengenai puasa dalam Kitab Ihyā’ ‘Ulum ad-Din pada Bab Asrar as-Ṣhaum, ia menjelaskan mengenai pembahasan secara panjang lebar. Pernyataan Imam al-Ghazali menunjukkan bahwa kondisi lapar akan memberikan efek penting dalam kehidupan manusia. Sebab, lapar mampu mengekang hawa nafsu manusia. Ihyā’ ‘Ulūm ad-Dīn menjelaskan bahwa sumber segala bencana dan penyakit berasal dari nafsu perut2.
Adapun Nabi ketika Ramadhan akan tiba ia menyambutnya dengan puasa di Bulan Sya’ban Sebagai persiapan menyambut Ramadhan, Rasulullah memperbanyak puasa. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata
وَلَمْ أَرَهُ صَائِمًا مِنْ شَهْرٍ قَطُّ أَكْثَرَ مِنْ صِيَامِهِ مِنْ شَعْبَانَ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلاَّ قَلِيلاً
“Saya sama sekali belum pernah melihat Rasulullah berpuasa dalam satu bulan sebanyak puasa yang beliau lakukan di bulan Sya’ban, di dalamnya beliau berpuasa sebulan penuh.” Dalam riwayat lain, “Beliau berpuasa di bulan Sya’ban, kecuali sedikit hari.” (HR. Muslim: 1156)
Amal shalih tentu menjadi bekal penting, jika tidak maka kita akan lemah menghadapi Ramadhan. Tanpa bekalan amal shaleh, raga akan dilemahkan untuk menjalaninya. Sebab tanpa amal shaleh, kita bisa saja kehabisan bekalan dalam perjalanan. Maka Ramadhan akan meninggalkan kita dalam kondisi demikian, karenanya keberangkatan tanpa persiapan itu dicela oleh Allah3. Firman Allah,
Tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka, maka Allah melemahkan keinginan mereka. dan dikatakan kepada mereka: “Tinggallah kamu bersama orang-orang yang tinggal itu.” (QS: At Taubah: 46).
Begitulah keadaan para salaf dalam memperlakukan Ramadhan sebagai tamu istimewa. Mereka berdoa tiada henti bukan hanya dalam menyambutnya, bahkan di dalam Ramadhan, dan di saat Ramadhan telah berlalu mereka masih juga berdoa. Mereka meminta kepada Allah di luar bulan Ramadhan agar dipertemukan dengan bulan Ramadhan, karena mengetahui bahwa di bulan itu terdapat kebaikan yang sangat besar dan kemanfaatan yang begitu luas.
Saat Ramadhan tiba, merekapun minta kepada Allah untuk memberikan pertolongan dan bantuan kekuatan agar mereka dapat beramal salih di bulan tersebut. Jika Ramadhan telah usai, mereka pun masih tetap memohon kepada Allah agar menerima amalan-amalan mereka. Hal itu mereka lakukan semua karena dirundung oleh rasa cemas dan khawatir setelah beramal, perihal diterima tidaknya amal mereka. Mereka pun memperbanyak amal shaleh seperti shalat tahajjud, tilawah al-Qur’an dan puasa di bulan Sya’ban. Tak lupa mereka senantiasa meperbaharui taubat mereka kepada Allah, sebagai upaya untuk memperbaharui iman dan menjaga keberuntungan4. Allah ta’ala berfirman,
“Bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS: An Nuur: 31).
Bagian dari kesadaran bahwa kita semua adalah pendosa, sebagaimana sabda Rasulullah,
“Setiap keturunan Adam itu banyak melakukan dosa dan sebaik-baik orang yang berdosa adalah yang bertaubat.” (HR. Tirmidzi)
Akhirnya marilah senantiasa menjaga doa, agar terijabah dengan banyak melakukan taubat dan amal shaleh. Sebagai upaya menyambut Ramadhan yang mulia.
اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُمَّ أَهِلَّهُ عَلَيْنَا بِالْأَمْنِ وَالْإِيمَانِ، وَالسَّلَامَةِ وَالْإِسْلَامِ، وَالتَّوْفِيقِ لِمَا تُحِبُّ وَتَرْضَى، رَبُّنَا ورَبُّكَ اللَّهُ
Allahu Akbar, ya Allah jadikanlah hilal (Ramadhan) itu bagi kami dengan membawa keamanan dan keimanan, keselamatan dan islam, dan membawa taufiq yang membimbing kami menuju apa yang Engkau cintai dan Engkau ridhai. Tuhan kami dan Tuhan kamu (wahai bulan), adalah Allah.” (HR. Ahmad dan Ad-Darimi)
Sumber:
1Andy, Safria. 2012. Hakikat Puasa Ramadhan dalam Perspektif Tasawuf. Jurnal Ibn Abbas. E-Journal Universitas Islam Negeri Sumatera Utara
2Fakhruddin Nursyam. 2008. The Great Power of Ramadan. Era Intermedia. Solo
3As-Sayuti, Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin. 2010. Tafsir Jalalain, terj. Bahrun Abu Bakar. Sinar Baru Algensindo. Bandung
3Abuddin, Nata. 2002. Akhlak Tasawuf. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada
4Shihab, Quraish. 2012. Membumikan al-Quran. Lentera Hati. Jakarta
Nurul Wasiatur Rofiah
Penulis adalah seorang santri yg aktif dalam berbagai organisasi semasa menempuh pendidikan formal. Aktivitas sebagai santri tidak menjadikan kegiatan yang lain menjadi terbengkalai, termasuk menulis yang juga merupakan hobi penulis.