Kenapa Nabi Harus Isra Miraj?
Memasuki tahun kesepuluh dari kenabian dikenal dengan yang namanya Âmu al-Huzn (tahun kesedihan) dikatakan tahun kesedihan karena Rasulullah Saw saat itu ditinggal sang kekasihnya, yaitu kepulangan Istri tercinta Khadijah binti Khuwailid, r.a. W. 619 M. Khadijah adalah satu-satunya perempuan tercinta yang berjasa besar terhadap perjuangan Rasulullah Saw, selang beberapa hari ditambah lagi berita duka dengan kepulangan paman tercintanya yaitu Abu Thalib, W. 619 M, ialah paman yang mendukung penuh akan kelancaran dakwahnya, serta melindungi dari tekanan kafir quraisy saat itu.
Pasca kepulangan mereka itulah Rasulullah Saw mengalami kesedihan yang berkepanjangan, siapa lagi yang mempunyai kekuatan dan pelindung untuk meneruskan misi dakwahnya, sementara kafir quraisy bangga dengan wafatnya mereka, mereka (qurash) semakin mempunyai kesempatan untuk membatalkan dakwah nabi dengan beragam penganiayaan, penindasan, pemboikotan dan juga mengucilkan kaum muslimin saat itu, dikatakan ketika mencapai puncak ujian tidak ada lagi pangan untuk menahan rasa lapar kecuali hijau-hijauan dan rerumputan, hal inilah yang mengharuskan Nabi berhijrah ke Thaif untuk mencari perlindungan (suaka), tetapi sesampainya disana penduduk Thaif pun menolak dan enggan menerima tawarannya, bahkan melempari Nabi dengan batu yang mengakibat luka pada bagian tumit dan lainnya, inilah kronologi singkat sebelum peristiwa Isra dan Miraj yang dahsyat terjadi.
Isra secara bahasa adalah kata transitif yang membutuhkan objek, isra bermakna “memperjalankan diwaktu malam”, sebagaimana pada pembuka surah al-Isra. “Maha suci ia yang telah memperjalankan hambanya diwaktu malam” (Q.S 17:1 ). Sedangkan Miraj adalah dari kata Araj, yang bermakana naik, maksud dari keduanya adalah perjalanan Rasulullah Saw dari Masjid a-Haram ke Masji al-Aqsha, kemudian dilanjutkan dengan naiknya beliau menuju Sidra al-Muntaha, dikatakan Sidra al-Muntaha ini adalah tingkatan yang sudah tidak lagi jin dan malaikat dapat melalui apalagi menempati posisi tersebut. Ikhtilaf pendapat terkait apakah peristiwa Isra dan Mijra tersebut dengan Ruh saja? Atau Ruh dengan jasad? Pendapat jumhur mengatakan bahwa Isra dan Miraj ini terjadi dengan Ruh dengan jasad. Pertanyaannya adalah mengapa Nabi Harus Isra dan Miraj? apa Hikmah Ilahiyah dibalik peristiwa tersebut? Mungkinkan perjalan Isra dan Miraj hanya dalam semalam saja?
Isra dan Mijraj adalah kehendak Tuhan dan termasuk juga bagian dari mukjizat baginda al-Musthafa Saw. Sebagian pakar Tasawwuf mengartikan Isra dan Miraj juga perjalanan spritual yang dilalui oleh Baginda Nabi sebelum menerima kewajiban shalat lima waktu. Dalam riwayat yang Shahih, ketika sampai di Bat al-Lahm (nama daerah di palestina) Jibril a.s membelah dada Nabi dan memenuhinya dengan cahaya keimaman, ini menandakan bahwa seseorang hamba saat akan menghadap Tuhannya haruslah dalam keadaan suci. Singkat cerita sampailah Nabi di langit ketujuh dan menerima kewajiban shalat lima kali dalam sehari semalam. Tidak ada perintah/kewajiban yang disampaikan secara langsung tanpa perantara wahyu kecuali perintah shalat, ini menunjukkan betapa agungnya perintah shalat dalam islam, sehingga shalat menempati kewajiban tertinggi yang tidak boleh ditinggalkan dalam situasi dan kondisi bagaimanapun, berbeda dengan kewajiban lainnya yang bisa gugur dalam kondisi tertentu.
Agar dapat memahami Hikmah Ilahiyah (maksud Tuhan) dibalik peristiwa Isra dan Miraj penulis mengajak pembaca untuk merenungkan kembali tentang kronologi sebelum Isra dan Miraj itu terjadi, Kita tahu bahwa Âmul Huzn (tahun kesedihan) yang menerpa Nabi ditahun kesepuluh itu seolah-olah tidak ada lagi spirit untuk menlanjutkan dakwahnya, karena mereka yang selalu menghibur dan melindunginya telah wafat. Kita lihat pada masa kesedihan ini Tuhan berkehendak untuk menghibur Nabi agar dapat melupakan kesedihannya dan menunjukkan bahwa masih ada Zat yang maha kuat dan Maha bijaksana diatas semuanya, bahkan seorang pelindung yang kuat dan bijaksana layaknya Khadijah dan Abu Thalib (pamannya), maka tidak selayaknya pula seorang da’i mengandalkan banyaknya pengikut atau merasa cukup dengan pertolongan manusia, dan tidak butuh terhadap pertolongan Allah SWT, sehingga ketika mereka para pecinta telah lenyap, tiada lagi yang menjadi penolong dalam dakwahnya. Maka seharusnya ia tetap menaruh prinsip bahwa tidak penolong yang sesungguhnya kecuali Allah semata.
Mustahilkan kalau jarak tempuh perjalanan Isra dan Miraj hanya dalam satu malam saja? Kalau anda mengandalkan logika tentu mustahil, karena hal ini diluar kebiasaan nalar yang sulit diterima. Bagaimana mungkin jarak Masjid al-Haram ke Masjid al-Aqsa yang berkisar 1.461 km ditambah lagi dengan keterbatasan tranportasi unta pada saat itu, hanya ditempuh dalam satu malam, ini adalah analogi yang sukar bahkan tidak dapat diterima jika mamahami agama dengan logika, artinya kita harus kembali pada arti dan hakikat serta makna Mukjizat yang maksudnya “melemahkan”. Ada satu hadis yang riwayatkan oleh Imam al-Bukhari bahwa kendaran yang ditunggangi Nabi saat itu adalah Burraq, sejenis keledai yang geraknya sejauh ia memandang. Sementara kalau dilihat dari sudut pandang perkembangan teknologi, dengan kecepatan cahaya saja itu sangat mungkin terjadi, inilah keagungan Mukjizat beliau yang menjadi Fitnah bagi mereka yang tidak percaya.
_________________________________________
DAFTAR RUJUKAN
Ibnu Hisyam W. 213 H Sirah Ibnu Hisyam, Maktabah Musthafa al-Babi Mesir Cet 3 1375H/1955M
Said Ramadhan al-Buthi, Fiqh al-Sirah al-Nabawiyah, Dar al-Fikr Damaskum, Cet 3 1433H/2012M
Shahih Bukari
Najmuddin al-Gathy W 972 H, Qishatul Mi’raj, Dar al-Qutub Ilmiah, Cet 2015 M

Muhammad Latif
Mahasiswa S1 Uin Syarif Hidayatullah di Jurusan Islamic Studies sekaligus santri di Darussunnah International Institute For Hadith Science, merupakan alumnus Pascatahfidz Bayt Al-Quran angkatan 14 yang sebelumnya mondok di Islamic Boording School Pamekasan.