Salat dan Pembentukan Karakter Kedisiplinan

Jika kita sedikit mengintip lorong waktu sejarah disyariatkannya salat, tentu kita akan dapati bahwa hari ini adalah hari pertama didirikannya salat lima waktu yang sampai detik ini, alhamdulillah masih istikamah kita lakukan. Tepat hari ini adalah tanggal 28 Rajab 1442 H, di mana tepat sekitar 1444 tahun yang lalu, Rasulullah salat bersama para Nabi di Masjidil Aqsha, kemudian bersama malaikat Jibril setelah Isra’ Mi’raj dan setelah itu bersama para sahabatnya di Makkah dan Madinah. Kini kita pun demikian, salat menghadap kepada Allah bersama-sama dengan saudara kita sesama muslim di manapun kita berada. Walhamdulillah.

Salat lima waktu disyariatkan oleh Allah bukanlah untuk membebani kita, melainkan untuk menunjukkan bahwa kemaslahatan terbesar kita ada di situ. “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk [aku tunjukkan kepada mereka bahwa kemaslahatan dan kenikmatan terbesar adalah saat] beribadah kepadaku.” (Qs. al-Dzariyat: 56) Dari sini kita paham bahwa salat adalah kebutuhan wajib atau kebutuhan pokok ruhani kita sebagaimana makanan dan minuman adalah kebutuhan pokok tubuh kita yang menentukan pertumbuhan, kesehatan, dan ketenangan kita.

Dalam ayat lain, Allah berfirman:

فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلَاةَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِكُمْ فَإِذَا اطْمَأْنَنْتُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا

“Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. kemudian apabila kamu telah merasa aman, Maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (Qs. al-Nisa: 103)

Ayat ini turun dalam konteks peperangan. Sebagai kebutuhan pokok, dalam kondisi tersulit dan tergenting pun, kebutuhan pokok ruhani kita ini tidak boleh kita tinggalkan, melainkan harus tercukupi. Sebagaimana dalam kondisi seperti itu, asupan gizi dari makanan dan minuman harus terpenuhi untuk menjaga stamina dan kesehatan serta kekuatan kita dalam menghadapi lawan di medan perang. Salat dan dzikir, justru kedua hal itulah yang disorot oleh al-Quran saat dalam kondisi gawat darurat, bukan makan dan minum yang tanpa perlu perintah al-Quran, keduanya sudah pasti akan diperintahkan oleh otak kepada tubuh kita. Selanjutnya, jika kondisinya sudah normal kembali, tidak genting dan gawat, maka cara salat pun harus kembali dilakukan dengan cara normal.

Allah menutup ayat ini dengan sebuah informasi penting, alasan tentang kenapa salat itu tidak bisa ditinggalkan dalam situasi sosial yang normal maupun kacau, gawat, dan genting. Hal itu tak lain adalah karena bagi Allah, orang mukmin jika ingin kebutuhan ruhani yang menjadi sebab semangat positifnya itu meningkat, memang harus melakukan salat pada waktu yang telah ditentukan. Karena itulah, Allah mewajibkan kepada orang beriman untuk mendirikan salat pada waktu-waktu yang telah ditentukan, tidak ditunda-tunda hingga melewati batas waktu yang telah ditentukan, meskipun kondisinya sangat gawat dan genting.

Secara otomatis, ayat ini mengajarkan manusia untuk disiplin secara positif. Bukan disiplin yang penuh pemaksaan, apalagi hukuman-hukuman fisik. Sikap disiplin adalah suatu perasaan taat dan patuh terhadap nilai-nilai yang dipercaya sebagai tanggung jawabnya. Sikap selalu memerlukan manajemen waktu (timing) yang pasti. Nyaris tidak ada kedisiplinan yang tidak diatur dengan waktu. Lalu, pertanyaannya kenapa manusia harus disiplin? Supaya ia sadar akan tanggung jawabnya dan memiliki nilai, sehingga kebutuhan-kebutuhan hidupnya akan terpenuhi serta tidak kalah oleh hasrat dan keinginannya yang tak kenal waktu dan tata tertib maupun nilai. Kita juga butuh nilai positif supaya hidup kita menjadi bermakna, teratur, tertib, tidak berantakan, tidak benturan dengan kebutuhan lain, sehingga kita mendapati ketenteraman.

Melalui aktifitas rutin dan mengikat (kitâban) yang dibatasi dengan waktu (mauqûtan) itulah, kedisiplinan akan tumbuh dan memaknai hidup kita. Antar satu tanggung jawab dengan tanggung jawab lain tidak akan saling bertabrakan. Selesai salat zuhur, berganti salat asar, kemudian maghrib, lalu isya, dan selanjutnya adalah subuh.

Di masa pandemi ini, tatanan hidup berubah. Sudah tepat satu tahun anak-anak kita mengalami perubahan pola hidup dan ketertibannya. Dulu, setiap pukul 07.00 anak-anak kita sudah masuk sekolah secara tertib. Sejak satu tahun ini, rutinitas disiplin tersebut tidak pernah kita dapati lagi. Pengaturan waktu pun berubah total dari biasanya. Praktis, kedisiplinan pun menjadi terancam pudar, bahkan musnah dari anak-anak kita. Namun, kita tidak perlu kuatir selama kita masih berkomitmen tinggi untuk mendidik diri kita dan anak-anak kita untuk salat lima waktu.

Melalui pembiasaan salat lima waktu di rumah secara berjamaah, kedisiplinan dan ketertiban serta nilai-nilai positif pasti akan terjaga, bahkan tetap tumbuh dan berkembang meskipun tidak dimonitori oleh tata tertib sekolah atau tempat kerja. Inilah kesempatan kita untuk menjadikan diri kita kemudian anak-anak kita tertib dan disiplin secara positif, yaitu melalui salat. Bukan disiplin karena takut peraturan sekolah yang berakibat pada menurunnya nilai raport atau nilai kinerja yang mempengaruhi kelulusan siswa maupun kenaikan gaji pegawai. Di situlah, Allah mengajari kita disiplin positif melalui rutinitas yang tidak lama, benar-benar menenangkan diri, me-time dengan Allah secara totalitas, sepenuh hati, sepenuh tubuh.

Kepala Madaris di Darussunnah Sittu Sanawat Ciputat. |  + posts

Bergelar doktor dalam bidang hadits dan tradisi kenabian yang menyelesaikan jenjang S1, S2 dan S3 nya di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pernah nyantri dan menimba Ilmu Agama di Ponpes Darussalam Ngrembeng Jombang, dan mendapatkan keilmuan Hadits secara langsung dari pakar Hadist Indonesia (Alm) KH. Ali Mustofa Ya’qub, MA.

Ahmad Ubaidi Hasbillah

Bergelar doktor dalam bidang hadits dan tradisi kenabian yang menyelesaikan jenjang S1, S2 dan S3 nya di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pernah nyantri dan menimba Ilmu Agama di Ponpes Darussalam Ngrembeng Jombang, dan mendapatkan keilmuan Hadits secara langsung dari pakar Hadist Indonesia (Alm) KH. Ali Mustofa Ya’qub, MA.