Menjadi Netizen Budiman sesuai Ajaran Al-Qur’an
Manusia dengan kodratnya sebagai makhluk sosial tentunya tidak mungkin terlepas dari interaksi sosial dengan sesama manusia lainnya. Terlebih di era digital, munculnya berbagai platform media sosial tentunya sangat memudahkan manusia untuk berinteraksi walau tanpa pertemuan, bahkan jarak pemisah tak lagi menjadi penghalang. Maka sangat wajar jika hampir setiap penduduk dunia memiliki akun di berbagai platform media sosial.
Di Indonesia sendiri, hasil survey We are Social menyatakan bahwa pengguna media sosial di Indonesia mencapai angka 191 juta orang dari keseluruhan warga Indonesia yang berjumlah 275 juta orang. Itu artinya hampir 70% warga Indonesia berinteraksi dengan media sosial setiap harinya, dan secara otomatis pengguna media sosial terlibat peran menjadi warganet atau citizen of the net yang lebih sering disebut dengan netizen.
Kata netizen sering kali dipahami sebagai peran yang buruk, netizen adalah orang-orang yang suka mengkritik, sangat mudah menghakimi, seringkali memprovokasi, menyalahkan tanpa tahu hal yang melatarbelakangi, dan masih banyak lagi. Bahkan dari laman aptika.kominfo.go.id diperoleh data bahwa kasus pelanggaran UU ITE bisa mencapai rata-rata hampir 200 kasus setiap tahunnya. Namun ternyata tidak semua netizen seburuk itu, pengguna media sosial diharapakan menjadi netizen yang budiman dengan mengamalkan pengajaran-pengajaran Al-Qur’an.
Berdasarkan pengajaran Al-Qur’an, netizen budiman diharapakan mampu menjaga dua sikap. Diantaranya yaitu sebagai berikut:
- Sikap ke dalam: Sikap diri terhadap berita dan pernyataan yang beredar.
Di laman sosial media kita banyak menerima informasi dan berita, yang entah bersumber dari mana bahkan bisa jadi tidak sesuai fakta. Sebagai netizen budiman bagaimana cara kita menanggapinya?
Hoax dalam KBBI didefinisikan sebagai berita bohong atau berita yang tak bersumber, dan ternyata Al-Qur’an telah lama menasehati kita, sebagaimana kalamullah QS. Al-Hujurat: 6,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِن جَآءَكُمْ فَاسِقٌۢ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوٓا۟ أَن تُصِيبُوا۟ قَوْمًۢا بِجَهَٰلَةٍ فَتُصْبِحُوا۟ عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَٰدِمِينَ
Prof. Dr. M. Yunan Yusuf, MA dalam tafsirnya Kitabun Hafizh mengartikan dan menjelaskan ayat tersebut sebagai berikut:
“Hai orang-orang yang secara tulus beriman kepada Allah dan Rosul-Nya, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita apa pun isi berita itu, maka, periksalah terlebih dahulu dengan teliti, apa sesungguhnya isi berita tersebut, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah, dalam bentuk tindakan atau celaan kepada suatu kaum, tanpa yang sebenarnya kaum itu mengetahui keadaannya, pada waktu bersamaan, hal itulah yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu, yang kamu timpakan terhadap mereka itu.”
Pada Tafsir Al-Misbah, Prof. Dr. Quraish Shihab, MA menjelaskan bahwa kata naba’ digunakan dalam arti berita yang penting. Berbeda dengan kata khobar yang berarti kabar secara umum, baik penting maupun tidak.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa seorang netizen budiman haruslah cermat dan selektif dalam menerima berita, mengklarifikasinya dari sumber yang terpercaya, tapi cukup berita-berita penting yang butuh analisa, yang tidak penting skip saja.
Dengan sikap selektif dalam menerima berita, untuk itulah kita diharapkan agar tidak dengan mudah menyebarkan berita berita bohong, karena hal tersebut dilarang keras oleh Al-Qur’an. Sebagaimana dalam QS. An Nur: 15-16,
إِذْ تَلَقَّوْنَهُۥ بِأَلْسِنَتِكُمْ وَتَقُولُونَ بِأَفْوَاهِكُم مَّا لَيْسَ لَكُم بِهِۦ عِلْمٌ وَتَحْسَبُونَهُۥ هَيِّنًا وَهُوَ عِندَ ٱللَّهِ عَظِيمٌ(١٥) وَلَوْلَآ إِذْ سَمِعْتُمُوهُ قُلْتُم مَّا يَكُونُ لَنَآ أَن نَّتَكَلَّمَ بِهَٰذَا سُبْحَٰنَكَ هَٰذَا بُهْتَٰنٌ عَظِيمٌ(١٦)
Artinya: (Ingatlah) ketika kamu menerima (berita bohong) itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit pun, dan kamu menganggapnya remeh, padahal dalam pandangan Allah itu soal besar. Dan mengapa kamu tidak berkata ketika mendengarnya, “Tidak pantas bagi kita membicarakan ini. Mahasuci Engkau, ini adalah kebohongan yang besar.”
Salah satu hal yang menarik dibahas dalam ayat ini adalah lafadz اِذْ سَمِعْتُمُوْهُ yang didahulukan dari lafadz قُلْتُمْ sebagaimana dijelaskan oleh Prof. Dr. Quraish Shihab, MA dalam Tafsir Al-Misbah hal itu mengisyaratkan besarnya dampak buruk peristiwa serta apa yang mereka dengarkan itu sehingga, seharusnya begitu mereka mendengarnya, saat itu pula mereka harus membantahnya.
- Sikap ke luar: Bagaimana cara kita melontarkan kritikan.
Pada media sosial kita sering kali menjumpai hal-hal mengganjal, yang bisa jadi kita nilai sebagai suatu kesalahan. Dan mengkritik sebenarnya bukanlah hal yang dilarang, bahkan ia termasuk salah satu bentuk amar ma’ruf nahi munkar yang diperintahkan, namun sudah benarkah cara mengkritik yang kita terapkan? Seperti apakah cara mengkritik yang benar sesuai ajaran Al-Qur’an?
Pada Surat Thaha:43-44 disebutkan
اِذْهَبَآ اِلٰى فِرْعَوْنَ اِنَّهٗ طَغٰىۚ(٤٣) فَقُوْلَا لَهٗ قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهٗ يَتَذَكَّرُ اَوْ يَخْشٰى (٤٤)
Artinya: Pergilah kalian berdua (Nabi Musa dan Nabi Harun) kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kalian berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.
Masih dari tafsir Al Misbah, Prof. Dr. Quraish Shihab, MA menjelaskan bahwa ayat tersebut menjadi dasar tentang perlunya sikap bijaksana dalam berdakwah, yang antara lain ditandai dengan ucapan-ucapan yang sopan yang tidak menyakitkan hati sasaran dakwah. Kita semua tahu siapa Fir’aun, kepada Manusia seburuk dan sekejam Fir’aun saja, Allah tetap memerintahkan Nabi Musa dan Nabi Harun untuk berdakwah dengan lemah lembut, apalagi kepada orang-orang biasa yang tidak sekejam Fir’aun, yang bahkan bisa jadi dia melakukan kesalahan, tanpa adanya unsur kesengajaan. Niat kita berdakwah memang sudah benar, tapi jika dengan cara mencacimaki di ruang public, itu sangat bertolak belakang dengan ajaran Al Qur’an. Bahkan Imam Syafi’I pernah berkata demikian:
تَعَمَّدني بِنُصحِكَ في اِنفِرادي # وَجَنِّبني النَصيحَةَ في الجَماعَه
فَإِنَّ النُصحَ بَينَ الناسِ نَوعٌ # مِنَ التَوبيخِ لا أَرضى اِستِماعَه
وَإِن خالَفتَني وَعَصِيتَ قَولي # فَلا تَجزَع إِذا لَم تُعطَ طاعَه
“Sampaikan nasihatmu kepadaku saat aku sendirian. Dan jangan katakan nasehat itu kala banyak orang, karena memberi nasihat di kalangan banyak orang adalah salah satu bentuk dari pelecehan, aku tidak senang mendengarnya. Apabila saran dan ucapanku ini tidak kau perhatikan. Janganlah menyesal jika sekiranya nasihatmu diabaikan.”
Dalam Ayat lain, yakni pada QS. An Nahl:125 disebutkan:
اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik.”
Sebagaimana disebutkan dalam tafsir ringkas kemenag bahwa ayat ini membahas prinsip-prinsip berdakwah agar kita berdakwah dengan hikmah, yakni tegas, benar serta bijak dan dengan pengajaran yang baik. Hal ini sejalan dengan penjelasan Syekh Hafidh Ibnu Katsir dalam Tafsirul Qur’anil ‘Adhimnya:
وقوله (وجادلهم بالتي هي احسن) اي من احتاج منهم الى مناظرة وجدال، فليكن بالوجه الحسن برفق ولين وحسن الخطاب
“Jika dibutuhkan berdebat dalam berdakwah, maka berdebatkan dengan cara yang baik, dengan lemah lembut dan perkataan yang baik.”
Dalam hadis marfu’ yang diriwayatkan dari Abdullah bin Amr dan Jabir bin Abdullah RA pun juga disebutkan:
المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده
“Seorang muslim sejati adalah seseorang yang orang-orang muslim lainnya selamat dari lisan dan tangannya.”
Maka tak perlu berapi-api dalam menasehati, berbicaralah lemah lembut dan berhati-hati, karena dalam berdakwah yang dituju adalah hati.
Dari pemaparan tadi dapat disimpulkan bahwa, untuk menjadi netizen budiman kita harus menjaga 2 sikap:
- Sikap ke dalam , yakni sikap kita untuk selalu selektif dalam menerima berita, tidak gegabah membuat kesimpulan, apalagi menyebarkannya
- Sikap keluar, yakni sikap kita ketika menemui pendapat orang lain yang tidak sejalan, agar kita menyampaikan kritikan dengan santun dan sopan.
Semoga kita bisa memanfaatkan media sebagai sarana menyebarkan kebaikan, bukan malah menimbulkan perpecahan dan permusuhan, jangan sampai ciri khas warga Indonesia dengan keramahannya yang diakui oleh dunia, menjadi tercoreng gara-gara ulah kita.
Daris Salama Ulin Nuha
Alumnus Pascatahfizh Bayt Al-Quran PSQ angkatan 30