Antara Iman dan Ilmu
“Semakin taat seseorang, semakin jauh ia dari kepintaran. Sebaliknya, semakin pintar seseorang, semakin jauh ia dari ketaatan”. Inilah stigma yang berlaku di Barat, atau tepatnya peradaban Barat. Mereka kerap membenturkan antara agama dengan sains, antara keimanan dengan keilmuan.
Ternyata, kalau kita lihat sejarah, stigma tersebut hadir sebagai bentuk trauma. Di mana dahulu para pemuka agama kristen seringkali menghukum para ilmuwan atas “bidah-bidah” mereka dalam ilmu pengetahuan. Dan, endingnya adalah kelahiran sebuah paham yang memisahkan agama dari aspek kehidupan materi: sekularisme.
Namun Islam tidak demikian. Islam adalah agama yang juga menjunjung tinggi akal dan ilmu pengetahuan. Buktinya, dalam Al-Qur’an banyak sekali kita temukan diksi-diksi sindiran terhadap mereka yang enggan mempergunakan akalnya: afalâ ya’qilun; afalâ tatafakkarun; afalâ tadzakkarun; afalâ yatadabbarun; dan sebagainya.
Di beberapa tempat juga Al-Qur’an menyandingkan antara keimanan dengan keilmuan. Seperti dalam Surah Muhammad Ayat ke-19, Fa’lam Annahu Lâ Ilâha Illallâh, menegaskan betapa pentingnya ilmu dalam keimanan; kemudian pernyataan Allah dalam Surah Al-Mujâdalah Ayat ke-11, Yarfa’illâhulladzîna Âmanû Minkum Walladzîna Ûtul’ilma Darajât, menyatakan betapa mulianya orang yang membersamai keimanannya dengan ilmu.
Bahkan wahyu pertama yang diterima Rasulullah saw., yakni Surah Al-‘Alaq Ayat 1 – 5, itu saja sudah menyinggung adanya sinkronisasi antara ilmu dan iman. Sampai-sampai lima ayat pertama itu bisa ditarik pembahasannya ke berbagai cabang keilmuan, sebagaimana pernah sedikit disinggung oleh Prof. M. Quraish Shihab dalam kajian Halaqah Tafsir, Rabu 25 Januari 2023:
“…Padahal ayat itu misalnya bisa ditafsirkan oleh orang lain dengan makna lain sesuai keahliannya. Saya beri contoh:
إقرأ باسم ربك الذي خلق خلق الإنسان من علق
‘Alaq dulu orang artikan dengan “segumpal darah”. Datanglah dokter, ia berkata bahwa itu bukan segumpal darah, karena belum ada darah waktu itu. Itu adalah sesuatu yang berdempet di dinding rahim. Kata ‘alaq seakar dengan ta’allaqa, artinya “bergantung”. Ini kata dokter.
Datang ahli sosiologi. Dia berkata, ‘alaq itu artinya “tergantung”. Manusia diciptakan dalam keadaan ketergantungan. Apa maknanya? Jadi ‘alaq itu artinya “makhluk sosial”… “
(Kutipan ini bisa disimak seutuhnya pada link berikut https://youtu.be/kN1ay3EYIG8)
Sementara itu, fokus pembahasan saya pada kesempatan ini adalah tentang di manakah letak korelasi antara ilmu dan iman menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah. Pembahasan ini berporos pada satu potongan dari ayat terpanjang dalam Al-Qur’an; ayat yang membahas tentang perhutangan.
Potongan ayat tersebut adalah:
وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۖ وَيُعَلِّمُكُمُ ٱللَّهُ ۗ وَٱللَّهُ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌ
“Dan bertakwalah kepada Allah, Allah memberikan pengajaran kepadamu, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah: 282)
Imâm Al-Alûsî, Ibnu ‘Âsyûr, dan Abû Hayyân dalam tafsir mereka membahas keindahan sisi Balaghah (kesastraan) ayat ini dengan mengutip pendapat Râghib Al-Ashfahâni tentang pengulangan lafzhul jalalah sebanyak tiga kali dalam tiga jumlah (kalimat) berderet. Silakan bagi yang penasaran bisa menelaah pembahasan-pembahasan mereka terkait ayat ini.
Dalam tafsir Al-Jâmi’ li Ahkâm Al-Qur’an, Imâm Al-Qurthûbî menyebutkan bahwa potongan ayat ini mengabarkan akan sebuah janji dari Allah, bahwa siapa yang bertakwa kepada-Nya akan diajarkan-Nya.1
Imâm Jalâluddîn As-Suyûthî juga menyebutkan beberapa atsar terkait potongan ayat ini dalam tafsirnya Ad-Durr Al-Mantsûr fi At-Tafsîr bi Al-Ma’tsûr. Salah satunya adalah sabda Nabi yang beliau nukil dari kitab Hilyah Al-Auliyâ`, bahwa beliau saw., bersabda: “Barangsiapa mengamalkan apa-apa yang telah diketahuinya, niscaya Allah akan mewariskan kepadanya apa-apa yang belum diketahuinya.”2
Caranya adalah, Allah akan memasukkan cahaya ke dalam hatinya,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَآمِنُوا بِرَسُولِهِ يُؤْتِكُمْ كِفْلَيْنِ مِنْ رَحْمَتِهِ وَيَجْعَلْ لَكُمْ نُورًا تَمْشُونَ بِهِ
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya (Muhammad), niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu dua bagian, dan menjadikan cahaya untukmu yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan.” (QS. Al-Hadîd: 25) Maka dengan cahaya itulah ia akan memahami apa-apa yang disampaikan kepadanya.
Allah juga akan menanamkan di hatinya Furqân,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَتَّقُوا اللَّهَ يَجْعَلْ لَكُمْ فُرْقان
“Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan furqān.” (QS. Al-Anfâl: 29) Furqân merupakan sesuatu yang dengannya manusia mampu membedakan mana yang haq dan yang bathil.3
Agar lebih tersambung, kita akan hubungkan antara sabda Nabi “At-Taqwâ Hâhunâ” yang disebut dalam Hadits Al-Arba’în An-Nawâwî dengan Firman Allah “Wallahu Akhrajakum …” pada Surah An-Nahl.
- Hadis Nabi
المسلم أخو المسلم لا يظلمه ولا يخذله ولا يكذبه ولا يحقره، التقوى ههنا – ويشير إلى صدور ثلاث مرات – (رواه مسلم)
“Seorang muslim merupakan saudara bagi muslim lainnya, janganlah ia menzaliminya, menelantarkannya, membohonginya, juga merendahkannya. Takwa itu di sini (seraya beliau menunjuk ke arah dadanya sebanyak tiga kali).” (HR. Muslim)
Dari penggalan berikut, Nabi menegaskan bahwasanya takwa itu letaknya di hati, dan memang ia pekerjaan hati, hingga efeknya pun kembali ke hati.
- Al-Qur’an Surah An-Nahl Ayat ke-78
وَٱللَّهُ أَخۡرَجَكُم مِّنۢ بُطُونِ أُمَّهَـٰتِكُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ شَیۡـࣰٔا وَجَعَلَ لَكُمُ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡأَبۡصَـٰرَ وَٱلۡأَفۡـِٔدَةَ لَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan dan hati nurani, agar kamu bersyukur.”
Ayat tersebut seakan memberi isyarat bahwasanya media-media penerima ilmu ada tiga: pendengaran (audio), penglihatan (visual), dan puncaknya adalah hati.
Allah swt., berfirman:
قُل لَّوۡ كَانَ ٱلۡبَحۡرُ مِدَادࣰا لِّكَلِمَـٰتِ رَبِّی لَنَفِدَ ٱلۡبَحۡرُ قَبۡلَ أَن تَنفَدَ كَلِمَـٰتُ رَبِّی وَلَوۡ جِئۡنَا بِمِثۡلِهِۦ مَدَدࣰا
“Katakanlah (Muhammad), “Seandainya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, maka pasti habislah lautan itu sebelum selesai (penulisan) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).”.” [QS. Al-Kahf: 109]
Sebagaimana Allah mengibaratkan ilmu-ilmu-Nya dengan air laut, maka untuk bisa menciduk air tersebut kita harus memiliki wadah yang baik dan bagus; yang tidak kotor apalagi rusak. Maka inilah fungsinya takwa, ia membersihkan dan memperbaiki hati sehingga mampu dipakai untuk mengambil dan menerima ilmu.
Membersihkannya dari kotoran-kotoran yang bisa membuat ilmu-ilmu itu keruh, seperti sifat riyâˋ, ‘ujub, hasad, dan sûˋuzhan. Juga menjaga dan memperbaikinya dari kerusakan-kerusakan yang bisa membuat ilmu-ilmu itu hilang, seperti perbuatan keji dan mungkar.
Terakhir, saya ingin menutup pembahasan ini dengan syair Imam Asy-Syafi’i yang masyhur:
شكوت إلى وكيع سوء حفضي # فأرشدني إلى ترك المعاصي
وأخبرني بأن العلم نور # ونورُ الله لا يُهدي للعاصي
Aku mengeluh kepada Waki tentang buruknya hafalan.
Maka dia membimbingku untuk menjauhi kemaksiatan.
Lalu dia memberitahuku bahwa ilmu itu cahaya.
Dan cahaya Allah tidaklah diberikan kepada yang durhaka.
Catatan Kaki
1 Al-Qurthûbî, Muhammad bin Ahmad. Al-Jâmi’ li Ahkâm Al-Qur’an, Kairo: Dâr Al-Kitâb Al-Mishriyyah, 1964, Hlm. 1/406
2 Jalâluddîn As-Suyûthî, Ad-Durr Al-Mantsûr fi At-Tafsîr bi Al-Ma’tsûr, Beirut: Dâr Al-Fikr, Hlm. 2/123
3 Al-Qurthûbî, Muhammad bin Ahmad. Al-Jâmi’ li Ahkâm Al-Qur’an, Kairo: Dâr Al-Kitâb Al-Mishriyyah, 1964, Hlm. 1/406
Zaidan Salman Alfarisiy
Alumnus Pascatahfizh Bayt Al-Quran angkatan 30