Khutbah Idul Adha: Hikmah Keteladanan Nabi Ibrahhim AS
Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar; Allahu akbar walil-l-Lahi-l-hamd.
Para jamaah yang dimuliakan oleh Allah SWT.
Pertama-tama, marilah kita bertakwa kepada Allah SWT. Bertakwa artinya memiliki sikap waspada setiap saat, “always on alert”, terhadap perintah-perintah Allah dan larangan-larangan-Nya. Gambaran visual tentang takwa boleh jadi kita jumpai pada seseorang yang mengendarai sepeda. Kunci utama agar seseorang berhasil mengendarai sepeda adalah satu: yaitu keseimbangan. Seimbang dengan cara tidak miring terlalu ke kanan atau ke kiri. Saat titik keseimbangan itu dicapai, seseorang berhasil mengendarai sepeda. Berhasil karena ia tidak jatuh. Agar berhasil, yakni tidak jatuh, ia harus waspada. Inilah gambaran sederhana bagi takwa. Dalam bahasa Arab, takwa bermakna “menjaga diri” (wiqayah). Istilah ini kerap diterjemahkan dalam bahasa kita sebagai “takut”. Meski agak kurang tepat, tetapi terjemahan itu mengungkapkan sebagian dari makna takwa. Seseorang yang memiliki sikap “takut”, tentu saja akan waspada, tidak gegabah, selalu berhitung agar tindakannya tepat sasaran.
Seorang yang beriman haruslah bertakwa dalam pengertian “being on alert”, selalu waspada setiap waktu. Tidak boleh lengah. Ciri seorang beriman adalah: tidak lengah. Kalaupun karena satu dan lain hal lengah, ia akan segera ingat kembali. Lengah di sini berarti: mengabaikan perintah-perintah Tuhan atau melanggar larangan-larangan-Nya. Manusia memiliki watak alami untuk lengah. Al-insan mahall al-khatha’ wa al-nisyan – manusia adalah tempatnya kesalahan dan kelengahan. Karena itu, bukan hal yang aneh jika manusia lengah, berdosa, berbuat kesalahan. Yang aneh adalah jika ia lengah dan berdosa secara terus-menerus, melanggengkan kelengahan, dan tidak sadar atau ingat kembali. Ini bukanlah sikap seorang beriman.
Takwa adalah modal terbaik dalam kehidupan. Dalam Surah al-Baqarah: 197, ditegaskan: wa-tazawwadu fa inna khairazzadi al-taqwa, wat-taquni ya ulil albab. Sebaik-baik “al-zad” atau “bekal” dalam hidup seorang beriman adalah takwa: yaitu sikap waspada tersebut. Waspada adalah ciri khas orang-orang yang memiliki “akal sehat”, ulil albab. Dalam sebuah hadis, Kanjeng Nabi Muhammad SAW. bersabda: ihfadzi-l-Laha yahfadzka; ingatlah engkau terhadap Allah, maka Alla akan menjagamu. Dengan kata lain, jika kita bisa terus waspada, tidak lengah, maka Allah akan menjadi “guardian”, penjaga dalam kehidupan kita. Barangsiapa yang hidupnya berada dalam penjagaan Allah, ia akan meraih kesuksesan (al-falah). Karena itu, ajakan kepada sembahyang, yaitu adzan, memuat kalimat berikut ini: hayya ‘ala al-falah – marilah menjemput kesuksesan, “al-falah”. Salat adalah simbol paling dasar dari kewaspadaan. Dan kewaspadaan adalah kunci sukses dalam hidup manusia yang beriman.
Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar; Allahu akbar walil-l-Lahi al-hamd. Para jamaah yang dimuliakan oleh Allah SWT.
Hal kedua yang mau saya sampaikan adalah mengenai Nabi Ibrahim dan bagaimana meneladaninya. Setiap hari raya Idul Adha, sosok nabi yang selalu hadir ke tengah-tengah kita adalah Ibrahim. Ibrahim adalah sosok yang menghubungkan kita dengan dua umat agama lain: yaitu Yahudi dan Kristen. Antara Yahudi, Kristen, dan Islam ada kekerabatan yang lekat melalui sosok Nabi Ibrahim. Salah satu benang merah yang menyambungkan antara ketiga agama itu ialah “tauhid” atau ajaran tentang keesaan Tuhan. Ibrahim adalah sosok paling penting dalam sejarah kenabian yang mengajarkan dua hal: “tauhid” dan “islam”. “Tauhid” adalah mengimani keesaan Tuhan, dan “islam” yaitu tunduk kepada Tuhan yang satu itu. Warisan terbesar Ibrahim adalah dua hal itu: tauhid dan islam.
Abraham juga mewariskan hal lain: yaitu keteguhan dan komitmen yang kuat untuk memegangi dua ajaran penting itu. Keteguhan Ibrahim ini dikisahkan melalui dua cerita yang sering kita dengar. Cerita pertama yang melambangkan “tauhid” ialah keteguhan Ibrahim memegangi tauhid. Dalam kisah ini, tokoh utamanya adalah Ibrahim dan Raja Nimrod atau Namrud. Namrud adalah seorang yang menjadi simbol pembangkangan terhadap Tuhan. Ia berkuasa di sebuah kawasan selatan Mesopotamia atau yang dikenal dengan Irak di era modern saat ini. Kawasan itu bernama Shinar. Simbol pembangkangan itu ialah menara yang dibangun Nimrod, yaitu Menara Babel. Ibrahim tidak mau ikut-ikutan dalam pembangkangan kepada Tuhan yang dilakukan oleh Raja Namrud ini. Ia berpegang teguh pada “tauhid”, ajaran primordial yang dibawa oleh para nabi sebelum Ibrahim.
Sikap Ibrahim yang tidak mau “ikut arus” dan menolak menyokong pembangkangan terhadap Tuhan itu membuat sang raja marah. Ibrahim dianggap sebagai ancaman; pertama-tama tentu saja ancaman dalam dimensi keyakinan, tetapi bisa menjadi pula ancaman politik. Karena itu, Ibrahim harus diberangus, dibungkam, agar tidak meruntuhkan otoritas sanga raja. Ia kemudian, seperti dikisahkan dalam Qur’an dalam surah al-Anbiya’, dihukum dengan cara diibakar. Keteguhan Ibrahim dalam tauhid membuatnya selamat dari ujian itu. Ia selamat dari kobaran api yang membakarnya. Allah berkata kepada api itu: Kuni bardan wa salaman ‘ala Ibrahim; jadilah engkau, wahai api, dingin dan keselamatan bagi Ibrahim. Tauhid telah mendinginkan panasnya api. Alih-alih membakar, api itu justru berubah menjadi dingin dan menjadi sumber keselamatan bagi Ibrahim.
Membaca kisah Ibrahim ini, saya lalu teringat pada sebuah teori yang dikemukakan seorang sosiolog Jerman, Zygmunt Bauman, yang pernah membuat analisis menarik tentang era di mana kita hidup saat ini, yaitu era yang disebut dengan “modernitas”. Salah satu ciri modernitas ialah adanya perubahan yang begitu cepat. Bauman, antara lain, mengatakan bahwa salah satu ciri modernitas adalah kecenderungannya untuk “menghancurkan” struktur-struktur lama. Dalam struktur itu terdapat pula sistem nilai. Modernitas adalah mirip sebuah api yang melelehkan segala hal lama yang membeku. Ia seperti api yang melelehkan lilin yang padat dan keras. Dalam bahasa Inggris, keadaan ini diuangkapkan dengan kalimat ini: all that is solid melts into air; segala hal yang padat meleleh di udara. Inilah keadaan di mana kita hidup saat ini. Perubahan datang begitu cepat, dan makin hari makin cepat. Perubahan yang dulu membutuhkan waktu tahunan untuk terjadi, saat ini bisa terjadi dalam hitungan hari, atau bahkan jam. Perubahan yang begitu cepat itu, dengan amat baik, disimbolkan oleh apa yang disebut dengan “trending topic” di dalam dunia medsos hari-hari ini.
Topik pembicaraan masyarakat penghuni medsos yang disebut netizen itu berubah secara cepat dalam hitungan jam, bahkan menit dan detik. Apa yang “trending” satu jam yang lalu, belum tentu tetap menjadi “trending” pada jam berikutnya. Apa yang viral di menit lalu, belum tentu pula viral pada menit berikutnya. Begitulah seterusnya. Kita hidup dalam “era modernitas” yang ditandai dengan perubahan-perubahan yang cepat seperti ini. Zygmunt Bauman, sarjana Jerman itu, menyebutnya “liquid modernity”, modernitas yang cair. Modernita adalah mirip dengan sebuah api yang amat panas; dan api ini akan melelehkan segala hal yang tak mau berubah. Segala struktur yang dianggap “kaku” dan “solid” akan dilelehkan oleh api modernias ini.
Jika segala hal cepat meleleh, timbul pertanyaan pada kita: lalu apa yang akan menjadi pegangan bagi kita? Sebab kita tidak bisa berpegang pada sesuatu yang cepat melelah. Pegangan hanya bisa kita dapatkan pada sesuatu yang “solid” dan kokoh. Inilah sebabnya, era modernitas, dengan segala hal positif yang kita terima di dalamnya, membawa akibat sampingan yang fatal: yaitu hilangnya orientasi, arah, dan tujuan dalam hidup. Salah sayu “penyakit modernitas” yang akut saat ini adalah gejala yang disebut “anomi” yaitu hilangnya rasa aman karena tak adanya pegangan. Disorientasi atau hilang arah: itulah penyakit manusia modern. Diam-diam, kita saat ini seperti mengulang kisah Ibrahim. Diam-diam, tanpa kita sadari, saat ini kita telah “menjadi Ibrahim” yang dipanggang oleh api Namrud bernama modernitas itu.
Jika Ibrahim dulu selamat karena memiliki pegangan, yaitu “tauhid”, maka saat ini, kita juga harus memiliki pegangan yang kokoh: yaitu agama. Tantangan seorang beriman hari-hari ini ialah bagaimana tetap waspada, “eling”, dan sadar terus, walaupun hidup di tengah-tengah banjir perubahan yang begitu cepat. Kita tidak boleh terpukau oleh “perubahan demi perubahan itu sendiri”. Ada banyak hal yang positif, tentu saja, dalam setiap perubahan. Tetapi perubahan yang membawa manfaat ialah perubahan yang dipandu oleh seperangkat nilai-nilai, oleh sebuah akidah.
Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar; Allahu akbar walil-l-Lahi al-hamd. Para jamaah yang dimuliakan oleh Allah SWT.
Teladan Ibrahim kedua ialah sikap “islam”, yaitu tundur kepada kebenaan. Al-Qur’an menggambarkan sikap Ibrahim ini dalah Surah al-Nahl: 120. Di sana Allah berfirman: Inna Ibrahima kana ummatan qanitan li-l-Lahi hanifan wa lam-yaku mina-l-musyrikin. Ibrahim adalah “ummat” yang tunduk kepada Tuhan dan bukanlah termasuk golongan orang-orang yang menyekutukan Allah. Para ahli tafsir memaknai kata “ummat” di sini sebagai “imam yang menjadi teladan”. Dengan demikian, maksud ayat ini ialah: Ibrahim adalah teladan dalam ketundukan kepada Allah. Tetapi kata “ummat” di sini bisa juga dimaknai sebagai “bangsa”. Walau sendirian melawan kekuasaan Raja Namrud yang didukung oleh puluhan ribu orang, tetapi Ibrahim dan keteguhannya itu sama nilainya dengan sebuah “bangsa”. Keteguhan seseorang membuatnya sama kedudukannya dengan orang-orang lain yang jumlahnya banyak. Keteguhan pada nilai, pada sesuatu yang tidak cepat “meleleh”, kepada akidah yang kokoh – itulah sumber kekuatan Ibrahim.
Keteguhan dan “ketundukan” Ibrahim ini dikisahkan kepada kita melalui mimpinya yang terkenal itu. Ya bunayya inni ara fi-l-manami anni adzbahuka fandzur madza tara (Al-Shaffat: 102). Wahai anakku, aku bermimpi (diperintahkan untuk) menyembelihmu. Bagaimana pendapatmu? Mimpi ini melambangkan banyak hal. Pertama: keteguhan Ibrahim diuji melalui sebuah “litmust test”, ujian saringan yang begitu berat. Tak ada ujian terberat bagi seseorang yang memegangi suatu keyakinan melebihi ujian dengan mengorbankan sesuatu yang paling kita cintai, “the loved ones”. Anak adalah simbol obyek yang paling dekat dan intim kepada seorang manusia. Tidak semua orang bisa lolos dalam ujian yang satu ini. Kedua: Ibrahim, didukung oleh puteranya (ada yang mengatakan Ismail; ada yang mengatakan Ishaq; perbedaan ini tidak terlalu penting dan tidak perlu dipertengkarkan!), lolos dalam ujian itu. Ia, tanpa ragu, menyembelih anaknya itu. Iman sebagaimana kita lihat pada Ibrahim adalah iman yang tanpa syarat; un-conditional faith. Iman yang seperti inilah yang bisa menyelamatkan kita dari pemanggangan api modernitas yang melelehkan segala hal tadi itu.
Ibrahim adalah simbol keteguhan dan ketundukan. Ia disebut sebagai seorang “hanif”, manusia yang condong kepada kebenaran. Karena keteguhannya inilah Ibrahim disebut sebagai salah satu nabi-nabi yang “uli-l-‘azmi”, nabi-nabi yang memiliki keteguhan. Sikap yang teguh tentu saja tidak bisa dikerjakan secara cuma-cuma, gratis. Keteguhan itu baru bisa dibuktikan jika telah melalui ujian. Ahasibannasu an-yaqulu amanna wahum la-yuftanun (al-Ankabut: 2). Apakah orang-orang itu mengira bahwa iman itu “gratisan” begitu saja, tanpa melalui ujian? Nay, nay. Tidak sama sekali. Tidak ada iman jika tidak melalui ujian dan pengorbanan. Setiap hewan sembelihan yang kita kurbankan seharusnya menjadi pengingat kita akan hal ini: bahwa iman yang sebenar-benarnya adalah iman yang sudah diuji dalam kehidupan sehari-hari.
Kurban adalah pengingat bagi kita bahwa kita harus terus meneladani Ibrahim. Dalam sehari-semalam, kita diingatkan terus akan warisan Ibrahim ini melalui salawat Ibrahimiyyah.Sekian.